kribo

penulis malas

Archive for the ‘raie’ Category

Kribo dan Maag

with 9 comments

Agustus. 2008.

Sore itu dipastikan adalah sore yang melelahkan. Apalagi itu minggu pertama kuliah tahun ajaran baru. Bagi Boulevard sore itu sore terakhir penjualan. Sekaligus juga sore evaluasi terbitan.

Melepas penat, saya lesehan di satu lorong Campus Center ITB. Keramiknya dingin, bikin kaki nyaman selonjoran. Apalagi ada pemandangan color-guard MBWG latihan di lapangan sebelah. Tak lama teman-teman andalan saya datang. Panji, Gio, Devy, Windy, Hasan. Malas dan jauh jalan ke sekre, kami putuskan evaluasi di situ saja. Agak berisik memang. Tapi biarlah.

Agak aneh sebenarnya evaluasi tanpa pemred dan redaktur artistik. Nise, sang pemred, sedang umrah di Arab sana. Red-Art, Dipta izin, lupa kenapa.Tapi evaluasi tetap alot. Terbitan itu kali pertama kami cetak lebih tebal dari biasanya. Sesuatu yang mengagetkan kami sendiri. Ternyata bisa lho, bikin tulisan lebih banyak. Testimoni pembaca juga positif. Ulasannya dalam dan rapih, katanya.

Yang disesalkan, penjualannya yang melorot. Ditambah ambisi saya cetak eksemplar lebih banyak. Terbitan sebelumnya ludes terjual. Logikanya kalau terbitan ini lebih bagus, harusnya lebih banyak juga dong yang beli, meski harganya naik. Hipotesis salah. Penyusunan terbitan kali itu sangat melelahkan. Secara konten memang hasilnya jadi bagus. Tapi kami yang hanya terdiri dari sedikit orang ini, akhirnya habis tenaga saat penjualan. Kami merugi. Besar.

Pelajaran berharga: Sebuah produk bagus belum cukup. Perlu dipikirkan juga strategi menjualnya. Beberapa artikel riset malah mengatakan product development itu baru 30%. Masih ada pekerjaan lain yang juga perlu dijalankan. Jika tidak, rugi hasilnya.

Debat panjang itu dipaksa selesai. Perut-perut tak kuat lagi. Lapar. Tawaran Hasan lanjut ke Pizza Hut, kami amini.

Dasar Laga Kebo. Lapar galak, kenyang bego. Sudah makan, diskusi kami turun tempo. Hanya ngobrol ngalor-ngidul. Evaluasi lanjutan itu ditutup tawa. Kami jadi pengunjung terakhir di malam itu. Masih dengan candaan khas Boulevard, kami berpisah. Kami memang rugi. Tapi ada pelajaran yang tetap bisa diselebrasikan toh. Hehe.

Saya pulang bersama Devy. Sejak ditinggal pemred umrah, Devy andalan saya mengurus redaksi. Sebulan penuh masa penyusunan terbitan, hampir tiap hari saya bertemu dia. Sering malah sampai larut. Jadilah saya rajin antar ke rumahnya. Di atas motor Vario Pink, ada saja bahan yang kami bincangkan. Agak-agak cinlok juga sejujurnya.

Tapi malam itu beda, Devy tak banyak bicara. Sampai… dug.. mendadak ada yang bersender di punggung. Jantung berdegup kencang. Saya lihat di spion. Devy, bukan dedemit. Alhamdulillah. Pucuk dicinta, ulam tiba.

“Ray…”
“Ya, Dev?” (sambil deg-degan kalau-kalau ditembak)
“Maag gue kambuh nih.”
“…”
“…”
&*$@#@ “Sabar, Dev. Gua anterin ke rumah lo. Tahan ya!”

Tenang, Dev. I will take care of you. Ibaratnya pasangan baru. Waktu pacarnya sakit pertama kali, pasti panik. Lebay. Pun begitu saya. Bedanya saya bukan pacarnya. Saya kebut motor Agnes Monica itu. Berharap bisa sampai dan memberi pertolongan lebih cepat.

Sayangnya ini malah bikin Devy ngamuk. Penting untuk dicatat. Maag adalah keadaan saat level asam dan gas di lambung sedang tinggi. Wajar dia ngamuk, ngebut bikin gas dalam perut makin tak teratur. Makin nyeri jadinya.

Saya sampai depan rumahnya. Dia masih tertunduk.

“Dev.. Sorry, gua
gak tau kalau maag ga boleh ngebut.”
“Iya, ga apa-apa. Thanks ya, Ray.”

Devy ngeloyor masuk rumah. Meninggalkan saya kebingungan sendiri. Pucuk habis dimakan ulat. Cinta pun lewat.

***

Juli. 2012.

Sesal itu kembali teringat. Saya tiba-tiba mengenang Devy. Siang itu saya panggil taksi untuk pulang ke rumah. Saya naik dari MM Bekasi, setelah nebeng dari Bandung bareng Chendra, lead designer GITS.

Saya pulang dalam keadaan perut nyeri minta ampun. Di taksi sudah bak orang hamil. Remas-remas gagang pintu sambil keringet dingin. Sebelumnya atas usulan Windy, pacar saya, saya diminta untuk periksa maag ke dokter. Tapi sayangnya dokter malah merujuk untuk USG di rumah sakit. Bener-bener macam ibu hamil saya ini.

Supir taksi sepertinya jadi panik. Dia beberapa kali lihat spion dan mendapati saya makin tersungkur di kursi belakang. Dia pun memacu taksinya kencang. Yang justru bikin saya naik pitam. Rasanya ingin memaki sopir taksinya supaya tidak ngebut. Tidak nerobos polisi tidur, lobang jalan dan gujlakan lainnya sembarangan. Sumpah serapah dalam kepala, tapi tak sanggup saya ucap. Habis energi saya menahan nyeri di perut.

Rupanya begini rasanya jadi Devy waktu itu. Pantas habis itu dia tak pernah lagi minta bonceng mengantarnya lagi. Sigh.

Sesampainya di rumah, orang tua mengantar saya ke Rumah Sakit. Masuk UGD disana.

Sayup-sayup terdengar obrolan dokter dengan mama.

“Bu, sudah positif ya. Nanti malam kita operasi usus buntunya,” ujar sang dokter.

Asyem. Perut saya pun dibelek. Dua belas jahitan melintang. Persis ibu-ibu di-caesar. Penyesalan saya sudah terbalas. Impas. Semoga Devy sudah memaafkan saya. Amin.

***

“Tring..”

BBM itu bunyi sebelum waktunya. Biasanya, baru bunyi agak malaman nanti. Saat Windy baru pulang dari biro psikolog anak, tempatnya bekerja.

Devy Nandya, Fri 18:10

  • Gue bsk lamaran…..
  • Hahahahahaha
  • Eh bsk minggu mksd gue

Saya senyum sendiri. Dan memberinya ucapan selamat. Duh. Maag… maag… semoga calon suami mu bukan tukang ngebut ya. :p

Written by ray rizaldy

24 February 13 at 1:28 am

Kribo dan 2012

with 2 comments

Tidak ada yang sanggup mengalahkan kebosanan selain membaca dan lalu menulis. Begitu pikir saya dulu. Saya biasa menulis di saat-saat senggang. Mungkin suntuk karena bug fixing beberapa project di GITS. Bosan karena menghabiskan akhir pekan sendirian. Atau yang paling kronis, bosan main game. Paling tidak, ada saja kebosanan yang bikin buka Google Reader. Melihat update blog dari teman-teman. Juga memantau blog cewek taksiran. Dan lalu akhirnya kepincut untuk menulis juga, supaya dibaca sama cewek blogger taksiran.

“Jadi udah ga bosenan nih sekarang? Udah punya pacar?”

Yes, ada benarnya. Dua tahun lalu, saya masih pejantan tangguh – kuat menghadapi malam minggu sendirian. Di malam-malam minggu yang dingin, seorang pejantan tangguh hanya berbekal laptop dan exhaust fannya untuk menghangatkan diri. Dayang-dayangnya adalah puluhan kbps yang sanggup mengantar kemana saja otaknya membayangkan. Selanjutnya malam akan makin dramatis ketika bulan purnama tiba. Auuu..

Sekarang sebenarnya tak jauh beda. Laptop dan internet tetap menjadi teman setia. Bedanya: kini saya punya pacar meskipun beda kota. Wanita sungguhan, tentu saja, bukan wanita jejadian macam simsimi. Laptop, internet, skype, itulah menu malam minggu pria modern zaman sekarang. Sambil sesekali kalau ada bulan penuh, saya coba sisipkan adegan FTV.

“Sayang.. liat deh bulannya lagi bagus lho!”
“Oh iya, purnama ya.”
“Meskipun jauh, tapi kita masih bisa liat bulan yang sama, ya.. Aku rindu kamu.”
“Hueeeek… Gombaaaal!” (Meskipun sok-sok muntah, saya tau pasti mukanya memerah)

***

Alasannya bukan hanya pacar. Tahun 2011 lalu, saya dapat kehormatan mewakili GITS. Kami hadir CommunicAsia sebagai bagian dari Nokia Developer. Adalah Toresto, aplikasi pencari tempat makan terdekat – yang sudah kami develop sekeren mungkin – yang ternyata dilirik oleh Nokia. Memang sih Toresto berawal dari Android app. Kita coba porting Toresto sebagai aplikasi native Nokia. Toresto ternyata termasuk aplikasi pertama yang menggunakan integrasi Nokia Maps. Kami cuma kalah cepat dari aplikasi asal China buatan Tencent. Jadilah kami diundang untuk ngobrol-ngobrol bersama petinggi-petinggi perusahaan Finlandia itu.

Hati mama mulai bisa dilunakkan karenanya. Meskipun belum kelar juga nasihatnya untuk ikut seleksi di BUMN. Sadar tak sadar, saya juga sudah harus mulai belajar melunakkan hati orang tua lain. 😀

Tapi seseorang tidak akan bisa meyakinkan orang lain, kalau tidak yakin dengan dirinya sendiri. Saya pun harus yakin dengan apa yang saya kerjakan. GITS. Tidak ada cerita lagi GITS projectnya berkala: kala-kala sibuk, kala-kala facebook. GITS harus sukses. Kita bukan lagi 5 orang mahasiswa kemarin sore yang tukang galau. Kami harus transformasi jadi sustainable company.

Sepanjang 2012 ini, banyak eksperimen kita coba disana-sini. Project kita evaluasi efektivitas kerjanya. H!Bandung. Mindtalk. Viki. Pelan-pelan, aplikasi GITS juga terus kita perbaiki. Toresto. KosaKata. Dokterdroid. Semua dibuat supaya lebih nyaman bagi user. Visi, misi dijabarkan ulang. Goal juga diset kembali. GITS adalah versatile mobile solution. Pake bahasa inggris biar gampang ingatnya. Get it Simple jadi motto yang tersingkat dalam nama GITS. Motto untuk mengingatkan bahwa kami disini untuk memudahkan pekerjaan manusia dengan teknologi. Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Begitu. *sambil acung telunjuk a la Mario Teguh*

Ada juga yang coba kontak kita jadi trainer untuk develop aplikasi. Belum PD betul sih. Rasanya kalau dibandingin sama jago programming lain seperti Pak Romi Satriowahono, saya kalah jauh. Masih banyak yang perlu saya pelajari. Tapi mungkin feenya juga kalah jauh ya. Hehe. Akhirnya malah saya menikmati, mengajar itu sendiri adalah belajar.

Jeng.. jeng.. jeng.. ini yang paling saya impikan dari dulu. Tawaran menyusun buku juga datang. Buku buat jadi materi ajar pengembangan aplikasi. Tapi ternyata menyusun buku itu butuh mental ekstra, pemirsah. Ada saja materi yang tau tau perlu ditambahkan ke dalamnya, tapi ternyata capek sendiri karena butuh pengujian lebih lanjut. Belum lagi kalau down, karena materi buku yang saya ikut ajarkan di training itu ternyata kurang bisa dipahami sama peserta ajar :D. Sepertinya perlu banyak belajar lagi sama Pak Rinaldi. Salut sekali untuk beliau yang karyanya sudah banyak terjual di toko buku.

Oh iya, info penting lainnya. Di tahun 2012 saya berhasil mengurangi satu lagi anggota tubuh saya. Mungkin karena makan kurang teratur, saya jadinya kena radang usus buntu. Perut saya dibelek 12 jahitan kayak ibu-ibu lahiran cesar. Jalan pun macam pinguin jadinya.

Hmmm.. Begitu deh tahun 2012 saya. Berhubung ini (masih) bulan pertama di 2013, saya coba sempatkan menulis lagi di blog karatan ini. Bukan resolusi sih memang. Hanya sekedar pengingat saja untuk diri sendiri.

Terima kasih 2012 + Januari 2013. I won’t be missing you. Good bye. Fiuh.

Written by ray rizaldy

30 January 13 at 5:35 pm

Posted in raie

Tagged with , , , , ,

Kribo dan Alkisah

with 2 comments

Alkisah, pada suatu waktu tersebutlah seorang wanita. Ia tipe yang sibuk belajar menaklukan toga. Sebuah batu loncatan dalam pencapaian ilmu dan karir, katanya. Entah bagaimana hidupnya berubah tiba-tiba. Garisnya bersilangan dengan hidup seorang pemuda.

Si pemuda hidup di ujung barat sana. Beratus-ratus kilometer dari si wanita. Mencoba menyebar benih rezeki untuk calon keluarga. Yang tak tahu akan ia temui dimana.

Takdir lah yang mempertemukannya. Keduanya bertatap muka. Di kota tempat wanita mencari ilmunya. Mungkin itulah awalnya muncul suka. Muda-mudi ini lalu saling bertukar cerita. Kalimat-kalimat ringan yang dikirim lewat udara. Tentang adu argumen di ruang kerja. Tentang makalah dari problema hingga bab analisa. Tentang teman yang baru saja pupus asmara. Cerita dan cerita, tak ada habisnya.

Suka tumbuh tak disangka. Sang pemuda bulat hatinya. Ditanyakannya cinta pada sang wanita. Ratusan kilo tak peduli dia. Andai ditolak tak mengapa. Dia sudah biasa.

Hati wanita toh tak sekeras batuan goa. Bisa berlubang tertetes air lama-lama. Luluh pada pemuda yang gigih berusaha.

Bulan-bulan lewat tak berasa. Putus sambung tali asmara mereka. Ada senang, juga duka. Tapi Jarak telah menempa keduanya. Lautan luas makin tak bermakna.

***

Siapa kira, kisah ini berulang 26 tahun setelahnya. Setelah mereka menikah dan punya anak lima.

Written by ray rizaldy

10 September 12 at 10:29 pm

Posted in raie

Tagged with , , ,

Jakarta Pagi Ini #2

with one comment

Saya suka libur pagi di Jakarta. Saat Mobil-mobil masih lelah untuk teriak melalui corong klaksonnya. Saat pasukan motor bersorban masih berdzikir usai majelisnya semalem.

Saya mengagumi Jakarta di pagi hari saat tanggal merah. Ketika sisa-sisa knalpot menjelma jadi kabut pagi, persis di puncak gunung. Ketika mentari menyeruak masuk melalui celah pepohonan. Membentuk garis-garis indah cahaya.

Ah, saya cinta Jakarta. Hanya di hari libur. Dan hanya di pagi hari.

Written by ray rizaldy

3 June 12 at 10:47 pm

Posted in raie

Tagged with , , ,

In Memoriam: Ujang Hasanudin

with 4 comments

Saya baru tiba dari Jogja malam itu. Waktu sudah pukul setengah 7. Bandung masih terang. Jingga kemerahan langitnya. Sejak sore langit memang sedang aneh. Hujan tapi tak mendung. Terik.

Tak butuh waktu lama untuk terlelap. Usai maghrib saya ngobrol sebentar dengan pacar lewat telepon. Linu duduk 8 jam di kereta. Saya tidur tanpa pamit. Mengacuhkan celotehnya di ujung telepon sana.

 

Pukul 12 malam. Saya terkaget dari tidur. Marion menelpon rupanya.

“Ray… Ente pe guru asuh meninggal. Pak Ujang akan dikirim ke Garut. Dikubur disana,” ujar Marion.

Lemas.

***

Pengumuman guru asuh di Insan Cendekia itu tidak mewah. Di hari pertama kami, para siswa baru, harus mencari di sebelah mana nama kami tertulis di kantin. Seperti main puzzle saja.

Meja makan ke-2 dari pintu dan serambi kantin. Di kertas di atas meja itu, nama saya tertulis. Di kertas yang sama tercantum juga “Guru asuh: Ujang Hasanudin”.

Saya duduk bersama Syamsir, anak kelas 1A. Ada dua orang siswi lagi datang. Masing-masing mengenalkan diri. Kak Hanan dari kelas 3B dan Kak Dini dari kelas 3A. Ada satu nama lagi yang tidak hadir, “Syamsu Rizal Paneo”. Di kemudian hari kami memanggilnya Kak Cacu, dari kelas 3C. Dengan duduk di meja tersebut, kami didaulat sebagai saudara asuh satu sama lain. Saudara asuh ibaratnya pengganti saudara kandung. Teman cerita. Curhat. Main. Tapi tanpa main hati.

Pak Ujang, panggilan guru asuh kami, datang belakangan. Menurut cerita senior di asrama, ada 3 guru yang galaknya melegenda. Mereka dikenal dengan sebutan USA. Inisial 3 guru tersebut: Pak Ujang, Pak Syarif, dan Pak Ahmad. Tapi Pak Ujang jauh dari kesan yang diceritakan. Perawakannya mengingatkan pada Unang, personil grup lawak Bagito. Beliau datang dengan senyum lebar. Di kepalanya sudah tersimpan nasihat-nasihat untuk saya dan Syamsir, yang sepanjang makan siang itu diceritakannya dengan gaya banyolan. Saya yang tadinya berniat jaim, takut kena efek galaknya, malah batal. Makan siang pertama itu berakhir dengan ceria dan Ikan jatah Kak Cacu selamat di perut saya.

***

Pak Ujang adalah guru Fiqih. Ilmu tentang aturan ibadah. Kecuali ujian, kelas Pak Ujang itu paling ditunggu. Dibanding pelajaran lain, Fiqih adalah penyegaran. Ada saja kelucuan terjadi di kelasnya saat mencontohkan hukum ibadah. Tentang haji dan gelarnya di Indonesia. Kenapa tidak ada orang bergelar Sholat, Zakat atau puasa di depan namanya. Padahal sama-sama rukun islam. Tentang sholat yang panjang dan konsentrasi. Bagaimana orang yang lama sholatnya bisa saja karena melamun atau lupa sudah rakaat berapa. Tentang nikah itu ujung-ujungnya kelamin. Kalau tak ada hukum nikah, coba tiap hari saja ketemu Agnes Monica. Seru. Rugi rasanya keluar kelas Pak Ujang tanpa tertawa.

Fiqih ajaran Pak Ujang simpel. Tak ribet aturan. Beliau sendiri seorang kidal natural. Meskipun ada saja yang mendalilkan kebaikan itu di kanan. Konon, kecuali cebok dan masuk toilet, semua harus pakai kanan. Tapi dia percaya bahwa aturan ibadah itu tidak menyusahkan. Jadi Islam harusnya tidak susah. Jangan orang baru belajar ibadah sudah dibilang bid’ah. Kapan majunya?

Waktu berlalu di asrama. Sebagaimana saudara asuh, Pak Ujang juga jadi pengganti ayah di sekolah. Pak Ujang adalah guru yang paling dekat dengan kami, anak asuhnya. Jika anak asuhnya bermasalah dengan pelajaran, beliau mampu menjelaskan mudahnya pelajaran tersebut. Jabatan boleh guru Fiqih. Wajah boleh Sunda. Tapi otaknya secepat shinkansen Jepang. Pak Ujang mahir menjabarkan Hukum Gravitasi Newton. Terampil pula menghitung aritmatika pangkat-n. Saya sering heran kenapa manusia sejenius dirinya memilih karir jadi guru Fiqih.

Pun begitu jika anak asuhnya sedang galau hati. Pak Ujang bukan guru yang anti siswa kasmaran. Entah dia dapat info darimana saya sedang “pendekatan” ke adik kelas. Sampai akhirnya Suatu kali, Pak Ujang memodifikasi pelajaran hari itu.

“Hari ini kita perlu buka lagi buku kelas 1. Tadi pagi saya dari 1A. Pinjem buku dulu aja sama mereka,” ujar Pak Ujang sambil nyengir.

“Ray… Kamu juga boleh pinjam Latifaturrahmah,” lanjutnya. Merujuk ke junior cantik si jago kaligrafi yang saya taksir.

Beberapa minggu kemudian. Seperti biasa. Saya patah liver. Pak Ujang balik menghibur, “Anak saya hebat-hebat. Yang boleh sama anak saya harus yang hebat juga.”

***

Enam tahun sudah terlewat sejak saya lulus. Tak ada yang menyangka beliau pergi secepat ini. Belum ada sesuatu yang saya bisa banggakan kepadanya. Prestasi. Posisi. Apalagi materi. Belum juga sempat saya pamerkan kepadanya wanita hebat yang dulu dikatakannya.

Tapi sore kemarin sesampainya di Garut, Pak Ujang sudah kaku. Sore itu kembali jingga seperti sore sebelumnya. Sendu. Keluarganya biasa penuh tawa kini hujan air mata. Saya ikut mengiringi jenazah beliau hingga di liangnya. Ini kali pertama saya ikut dalam prosesi penguburan. Aneh rasanya mempraktekan ilmu fiqih jenazah pertama kalinya. Justru kepada orang yang dulu mengajarkannya.

Selamat tinggal, Pak Ujang. Guru sekaligus ayah yang penuh canda dan perhatian.

Terima kasih.

Written by ray rizaldy

9 February 12 at 8:22 am

Posted in raie

Tagged with